[10] PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH (UMKM) DAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES PROVIDER (BDSP) DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI

  • PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH (UMKM) DAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES PROVIDER (BDSP) [ Jasa Pengembangan Usaha ] DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI
  • (disadur oleh Ir. Rohmad, MMA : Dosen Jurusan Peternakan UNISKA Kediri dari Bank Indonesia)
  • I. PENDAHULUAN
  • Upaya pengembangan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dewasa ini mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak, baik pemerintah, perbankan, swasta, lembaga swadaya masyarakat maupun lembaga-lembaga internasional. Hal ini dilatarbelakangi oleh besarnya potensi UMKM yang perlu diefektifkan sebagai motor penggerak perekonomian nasional setelah mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan.
  • Peran UMKM dalam perekonomian domestik semakin meningkat terutama setelah krisis 1997. Di saat perbankan menghadapi kesulitan untuk mencari debitur yang tidak bermasalah, UMKM menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan statistik BPS tahun 2009, UMKM (kurang lebih 40 juta unit) mendominasi lebih dari 90% total unit usaha dan menyerap angkatan kerja dengan prosentase yang hampir sama. Data BPS juga memperkirakan 57% PDB bersumber dari unit usaha ini dan menyumbang hampir 15% dari ekspor barang Indonesia. Ditinjau dari reputasi kreditnya, UMKM juga mempunyai prestasi yang cukup membanggakan dengan tingkat kemacetan kredit yang relatif kecil. Pada akhir 2009, kredit bermasalah UMKM (NPL) hanya 3,9%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan total kredit perbankan yang mencapai 10,2%.
  • Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemberian kredit ke UMKM merupakan salah satu upaya dalam rangka penyebaran risiko perbankan, sementara suku bunga kredit UMKM sesuai dengan tingkat bunga pasar sehingga bank akan mempunyai margin yang cukup. Sektor ini mempunyai ketahanan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena kurangnya ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan ekonomi lemah. Namun demikian, UMKM juga mempunyai karakteristik pembiayaan yang unik, yakni diperlukannya ketersediaan dana pada saat ini, jumlah dan sasaran yang tepat, prosedur yang relatif sederhana, adanya kemudahan akses ke sumber pembiayaan serta perlunya program pendampingan (technical assistance).
  • Dibalik ketangguhan puluhan juta UMKM di atas, upaya pengembangan UMKM masih menjumpai berbagai kendala seperti pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah serta masih terbatasnya akses kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan.
  • Berbagai upaya dalam rangka pengembangan UMKM telah dilakukan oleh berbagai pihak antara lain dengan memperkenalkan pola pendekatan dalam rangka pembiayaan UMKM seperti pola PHBK, pola pendekatan klaster dan pola kemitraan. Terakhir ini, pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu dengan mengoptimalkan pemanfaatan tenaga BDSP yang dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung antara UMKM dengan perbankan. Pemanfaatan tenaga BDSP ini diyakini pula dapat membantu pemerintah dalam mensukseskan program penanggulangan kemiskinan melalui optimalisasi penyaluran kredit perbankan kepada UMKM.
  • Hal ini diperkuat dengan adanya MOU antara Menko Kesra selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 22 April 2002 yaitu yang merupakan komitmen perbankan dalam rangka ikut serta dalam program penanggulangan kemiskinan. Dalam MoU tersebut tercantum kegiatan yang akan dilakukan masing-masing pihak, yang dituangkan dalam suatu action plan.
  • Berdasarkan pemikiran di atas, agar pemberdayaan UMKM melalui pemberdayaan BDSP dapat berjalan dengan baik, maka pada tanggal 22 Februari 2003 ditandatangani Kesepakatan Bersama antara Deputi Gubernur Bank Indonesia dan Sekretaris KPK tentang Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank (KKMB/BDSP). Satgas inilah yang secara konseptual melakukan pemberdayaan BDSP. Di tingkat daerah, pembentukan Satuan Tugas Daerah (Satgasda) dilakukan dengan SK Gubernur untuk Provinsi dan SK Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota dengan melibatkan unsur Pemerintah Daerah, KPK, Perbankan, Bank Indonesia dan lembaga lainnya di tingkat daerah.
  • Pada tanggal 8 Juni 2005, MOU Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) tersebut di atas telah diperbaharui dengan lebih memperjelas tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak.
  • II. PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI UMKM
    2.1. Usaha Mikro
    2.1.1. Pengertian usaha mikro
  • Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut UU No. 20 Tahun 2008 adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagai berikut :
    1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
    2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).2.1.2. Ciri-ciri usaha mikro
  • 2.1.2. Ciri-ciri usaha mikro
    1. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
    2. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
    3. Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
    4. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
    5. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank;
    6. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.
  • 2.1.3. Contoh usaha mikro
    1. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya;
    2. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan rotan,industri pandai besi pembuat alat-alat;
    3. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dll.;
    4. Peternakan ayam, itik dan perikanan;
    5. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit (konveksi).
  • Dilihat dari kepentingan perbankan, usaha mikro adalah suatu segmen pasar yang cukup potensial untuk dilayani dalam upaya meningkatkan fungsi intermediasi-nya karena usaha mikro mempunyai karakteristik positif dan unik yang tidak selalu dimiliki oleh usaha non mikro, antara lain :
    1. Perputaran usaha (turn over) cukup tinggi, kemampuannya menyerap dana yang mahal dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan bahkan terus berkembang;
    2. Tidak sensitive terhadap suku bunga;
    3. Tetap berkembang walau dalam situasi krisis ekonomi dan moneter;
    4. Pada umumnya berkarakter jujur, ulet, lugu dan dapat menerima bimbingan asal dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
  • Namun demikian, disadari sepenuhnya bahwa masih banyak usaha mikro yang sulit memperoleh layanan kredit perbankan karena berbagai kendala baik pada sisi usaha mikro maupun pada sisi perbankan sendiri.
  • 2.2. Usaha Kecil
    2.2.1. Pengertian usaha kecil
    Usaha Kecil sebagaimana dimaksud menurut UU No. 20 Tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi criteria :

    1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah) t idak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
    2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dar i Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
  • 2.2.2. Ciri-ciri usaha kecil
    1. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah;
    2. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah;
    3. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha;
    4. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP;
    5. Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira usaha;
    6. Sebagian sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal;
    7. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business planning.
  • 2.2.3. Contoh usaha kecil
    1. Usaha tani sebagai pemilik tanah perorangan yang memiliki tenaga kerja;
    2. Pedagang dipasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya;
    3. Pengrajin industri makanan dan minuman, industri meubelair, kayu dan rotan, industri alat-alat rumah tangga, industri pakaian jadi dan industri kerajinan tangan;
    4. Peternakan ayam, itik dan perikanan;
    5. Koperasi berskala kecil.
  • 2.3. Usaha Menengah
    2.3.1. Pengertian usaha menengah
  • Usaha Menengah sebagaimana dimaksud menurut UU No. 20 Tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan kriteria sbb.:
    1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
    2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
  • 2.3.2. Ciri-ciri usaha menengah
    1. Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;
    2. Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan;
    3. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;
    4. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;
    5. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;
    6. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik.
  • 2.3.3. Contoh usaha menengah
    Jenis atau macam usaha menengah hampir menggarap komoditi dari hampir seluruh sektor mungkin hampir secara merata, yaitu:
    a) Usaha pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan skala menengah;
    b) Usaha perdagangan (grosir) termasuk expor dan impor;
    c) Usaha jasa EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), garment dan jasa transportasi taxi dan bus antar proponsi;
    d) Usaha industri makanan dan minuman, elektronik dan logam;
    e) Usaha pertambangan batu gunung untuk kontruksi dan marmer buatan.
  • 2.4. Kriteria Jenis Usaha Berdasarkan Jumlah Tenaga Kerja
    Kriteria jumlah karyawan berdasarkan jumlah tenaga kerja atau jumlah karyawan merupakan suatu tolak ukur yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menilai usaha kecil atau besar, sebagai berikut :
  • gb 1
  • III. PEMBERDAYAAN UMKM
    Pengembangan UMKM di Indonesia masih memerlukan upaya yang lebih serius, khususnya untuk usaha mikro mengingat usaha ini memiliki porsi yang cukup besar dari jumlah usahanya dan dari segi akses kepada pembiayaan masih mengalami berbagai kendala. Adapun kendala yang dihadapi tersebut, baik dari sisi usaha itu sendiri maupun
    dari sisi perbankan adalah sebagai berikut :
    a. Kendala dari sisi usaha mikro :
    1. Kelemahan dalam aspek legal dan formalitas (perijinan);
    2. Tidak memiliki kekayaan sebagai jaminan kredit sehingga oleh bank dipandang beresiko tinggi;
    3. Lokasi usaha sering kali jauh dari jangkauan Bank;
    4. Volume usaha dan kebutuhan kredit rata-rata per nasabah masih kecil sehingga perbankan menganggap biaya transaksi terlalu tinggi dan tidak efisien;
    5. Kelemahan dalam aspek pengelolaan usaha dan administrasi keuangan.
  • b. Kendala pada sisi perbankan :
    1. Bank kurang pengalaman berhubungan dengan debitur pengusaha mikro;
    2. Bank enggan mengalokasikan tenaga dan kredit untuk melayani kredit mikro karena dianggap tidak efisien dan beresiko tinggi.
  • 3.1. Pendekatan dalam Pemberdayaan UMKM
    3.1.1. Program Pengembangan Hubungan Bank dg Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK)
    Untuk membantu perbankan Indonesia mengatasi berbagai kendala tersebut di atas dan agar perbankan dapat melayani sektor riil khususnya pada segmen usaha mikro secara aman dan saling menguntungkan, maka Bank Indonesia sejak tahun 1989 telah menyelenggarakan Program Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Konsep PHBK adalah suatu pola pelayanan keuangan yang diperkenalkan dan disediakan oleh BI kepada perbankan dan sektor riil untuk mengembangkan hubungan keuangan antara bank dan usaha mikro dengan pendekatan kelompok, yang diuraikan berikut ini.
  • A. Tujuan pelaksanaan PHBK
    1. Mengembangkan, memperluas dan membudayakan layanan keuangan komersial perbankan kepada pengusaha mikro agar dapat meningkatkan pendapatannya.
    2. Membantu perbankan untuk memperluas segmen pasar usaha mikro secara aman dan saling menguntungkan.
  • B. Partisipan PHBK adalah:
    • Bank, yaitu Bank Umum dan BPR sebagaimana disebutkan dalam UU tentang Perbankan.
    • LPSM atau Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat, yaitu lembaga nir-laba yang memiliki program pengembangan sosial ekonomi khususnya bagi UMK.
    • Instansi Pemerintah, yaitu lembaga Pemerintah pada berbagai tingkatan yang memiliki atau terkait dengan program pengembangan sosial ekonomi khususnya bagi UMK.
    • Koordinator kelompok, yaitu suatu lembaga informasi atau program yang mempunyai kepedulian terhadap mengembangan dan pembinaan kelompok masyarakat dalam rangka memajukan sosial ekonomi.
  • C. Sasaran PHBK
    • Sasaran PHBK adalah Pengusaha mikro yang tergabung dalam kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
    • Pengusaha mikro adalah pelaku usaha di semua sektor ekonomi dengan kekayaan di luar tanah dan bangunan maksimum Rp 25 juta. Pengusaha mikro terdiri dari petani kecil, peternak, pengrajin, nelayan, industri kecil, pedagang kaki lima, bakulan di pasar, pengusaha mikro dibidang jasa dan lain-lain baik di kota maupun di pedesaan, termasuk masyarakat yang berpenghasilan tetap/pensiunan sepanjang anggota tersebut mengelola usaha produktif, baik yang belum maupun yang sudah akses terhadap kepada layanan perbankan.
    • Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) adalah sekumpulan orang yang melakukan kegiatan usaha skala mikro yang tergabung dalam satu ikatan pemersatu, yang saling mengenal dan percaya satu sama lain serta bersepakat untuk bekerjasama meningkat kan pendapatannya.
    • Dalam rangka PHBK, KSM dibedakan atas dua jenis, yang melakukan peranan yang berbeda dalam kegiatan hubungan keuangan dengan bank, yaitu:
      1. Kelompok Simpan Pinjam (KSP). Adalah KSM yang melakukan kegiatan simpan pinjam dari, oleh dan untuk para anggotanya. Kredit dari bank bersifat memperkuat sumber dana kelompok yang akan dipinjamkan kepada para anggotanya. Dalam hubungan keuangan dengan bank KSP bertindak sebagai executing agent.
      2. Kelompok Pengusaha Mikro (KPM). Adalah KSM yang semua anggotanya sepakat bekerjasama untuk memperoleh layanan bank guna mengembangkan usaha. Dalam hubungan keuangan dengan bank KPM bertindak sebagai channeling agent.
    • Baik KSP maupun KPM harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat dihubungkan dengan bank. PHBK menetapkan kriteria kelayakan KSP maupun KPM seperti pada Tabel 1 di bawah ini :
    • gb 2
    • Bank yang berminat mengembangkan pelayanan keuangan kepada pengusaha mikro dapat dilakukan pendekatan kepada KSM melalui suatu proses identifikasi, seleksi, pembinaan dan pelayanan kredit.
      1.  Identifikasi dalam rangka pelayanan kepada KSP melalui :
        1. LPSM yang memiliki kelompok binaan KSP untuk model 1 dan 3
        2. Dinas/Instansi Pemerintah yang memiliki kelompok atau populasi usaha mikro binaan untuk model 1.
      2. Identifikasi dalam rangka pelayanan kepada KPM melalui :
        1. LPSM/Dinas/Instansi yang memiliki kelompok binaan KPM untuk model 1.
        2. Koordinator kelompok yang memiliki kelompok binaan KPM untuk model 2.
  • D. Model Hubungan Bank dengan KSM
    • gb 3
    • Bank melakukan pelayanan keuangan langsung kepada kelompok Bank dan LPSM/Dinas/Instansi Pemerintah membuat perjanjian kerja sama dalam rangka pembentukan dan atau pembinaan kelompok dengan kewajiban bank memberikan fee biaya pembinaan yang diperhitungkan dalam tingkat bunga kredit. Dalam hubungan ini LPSM/Dinas/Instansi bertindak sebagai channeling agent.
    • gb 4
    • Bank melakukan pelayanan keuangan langsung kepada kelompok yang sudah dibentuk dan dibina oleh koordinator kelompok. Bank dan koordinator kelompok melakukan koordinasi dalam penyaluran dan pengembalian kredit. Mengenai kompensasi terhadap koordinator kelompok diberikan sesuai kesepakatan masingmasing pihak antara bank, koordinator kelompok dan KPM.
    • gb 5
    • Bank memberikan pelayanan keuangan kepada kelompok melalui LPSM. Biaya kegiatan pembinaan diperoleh LPSM dari selisih bunga kredit dari bank dengan yang dibayar oleh kelompok. Akad kredit dilakukan antara bank dengan Pimpinan LPSM yang memiliki kewenangan legal. Kemudian akad kredit antara pimpinan LPSM dengan Ketua atau Pengurus kelompok yang memperoleh kuasa dari para anggotanya atau atas dasar keputusan rapat anggota yang dibuktikan oleh dokumen berita acara atau notulen. Dalam hubungan ini LPSM bertindak sebagai executing agent.
    • gb 6
    • Gambar 4. Model hubungan 3 antara bank dengan KPM Bank mengidentifikasi sendiri kelompok yang telah ada, atau memfasilitasi proses pembentukan kelompok di antara pengusaha mikro potensial yang sudah terseleksi, memberikan pelayanan keuangan dan sekaligus membina kelompok-kelompok tersebut sebagai nasabahnya. Akad kredit dilakukan antara bank dengan Ketua atau Pengurus kelompok yang memperoleh kuasa dari para anggotanya atau atas dasar keputusan rapat anggota yang dibuktikan oleh dokumen berita acara atau notulen.
    • Identifikasi populasi pengusaha mikro untuk model 3 dilakukan melalui pelayanan kredit kepada usaha mikro dengan :
      1. Meminta Ketua/Pengurus KPM maupun KSP untuk mengisi berbagai formulir yang diperlukan dalam proses pelayanan kredit kepada para anggotanya, seperti :
        1. Formulir data anggota
        2. Formulir permohonan kredit dan anggota perorangan
        3. Formulir rangkuman permohonan kredit para anggota
        4. Formulir penilaian kelayakan usaha anggota
        5. Formulir permohonan kredit KPM atau KSP ke bank
        6. Formulir pengikatan barang jaminan secara FEO atau SKJ
        7. Formulir surat kuasa kepada Ketua/Pengurus KPM atau KSP untuk membuka rekening, menyetor dan menarik tabungan kelompok
        8. Formulir surat kuasa dari ketua/pengurus KPM kepada bank untuk memindah bukukan tabungan perorangan maupun kelompok serta mengeksekusi barang jaminan anggota (bila ada) apabila kredit macet.
      2. Meminta ketua/pengurus KPM menandatangani perjanjian kredit dengan pihak bank.
  • 3.1.2. Pola Pengembangan Satuan Usaha Berbasis Klaster
    • Pola pengembangan satuan usaha berbasis klaster adalah suatu pengembangan investasi bagi kelompok usaha mikro, kecil, menengah berbasis klaster komoditas atau industri yang mengoptimalkan hubungan antar pengusaha dalam perluasan kesempatan kerja, pemanfaatan sumberdaya lokal, dan pemasaran. Usaha ini mengkaitkan antara input – proses – output dan pasar secara terangkai yang berbasis pada satu jenis komoditas (klaster komoditas) atau pada kelompok industri (klaster industri).
    • Banyak usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) gagal beroperasi karena tidak mendapatkan kepastian terhadap penyediaan input dan pemasaran output. Lembaga keuangan kurang melihat perspektif mata rantai produksi, pengolahan, pemasaran sebagai suatu rangkaian usaha yang beroperasi secara menyatu dan modal dapat kembali.
      Keterlibatan input, proses, output dan akses pasar pada UMKM sering tidak terorganisir secara benar. Paket kebijakan pengembangan usaha sangat sektoral dan tidak terfokus pada satuan kelompok usaha yang terangkai. Upaya pemerintah belum optimal dalam mengembangkan jaringan kerja kemitraan dalam pengembangan UMKM.
    • Peran pemerintah termasuk pemerintah daerah adalah menyiapkan paket kebijakan pengembangan UMKM berbasis klaster komoditas atau klaster industri, pengembangan akses UMKM ke lembaga pasar lokal, domestik dan global.
    • Peran yang diharapkan dari pemerintah adalah:
      1. Menciptakan peluang pasar lokal, domestik dan global sebagai respon terhadap perkembangan yang ada;
      2. Melakukan terbosan-terobosan dalam pengembangan teknologi sistem produksi, pengolahan dan pemasaran;
      3. Menguatkan dan mengaktifkan jalinan hubungan secara kemitraan antar pelaku dalam proses produksi, pengolahan dan pemasaran;
      4. Melakukan identifikasi sumberdaya yang potensial secara lebih intensif;
      5. Menciptakan produk yang memiliki keunggulan komparatif;
      6. Memanfaatkan sumber daya yang tersedia guna memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi.
  • 3.1.3. Pola Pengembangan Usaha dengan Model Kemitraan
    • Kemitraan menurut Peraturan Pemerintah N.o 44 Tahun 997, adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
    • Kemitraan dalam rangka keterkaitan usaha diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan dengan diberikan peluang kemitraan seluas-luasnya kepada Usaha Kecil, oleh Pemerintah dan dunia usaha.
    • Pola-pola kemitraan yang umum dijumpai antara lain Kemitraan Inti Plasma dan Pola Bapak Angkat.
    • A. Kemitraan (Inti Plasma)
      Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan atau Usaha Menengah sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil yang menjadi plasmanya antara lain meliputi :
      1. penyediaan dan penyiapan lahan;
      2. penyediaan sarana produksi;
      3. pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi;
      4. perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
      5. pembiayaan; dan
      6. pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.
    • Dalam hal kemitraan Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil berlangsung dalam rangka sub kontrak untuk memproduksi barang dan atau jasa, Usaha Besar atau Usaha Menengah memberikan bantuan antara lain berupa :
      1. kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen;
      2. kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar;
      3. bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;
      4. perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan;
      5. pembiayaan.
    • Dalam kegiatan perdagangan pada umumnya, kemitraan antara Usaha Besar dan atau Usaha Menengah dengan Usaha Kecil dapat berlangsung dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan dari Usaha Kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang bersangkutan.
    • Usaha Besar, Usaha Menengah dan Usaha Kecil yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak untuk :
      a. meningkatkan efisiensi usaha dalam kemitraan;
      b. mendapat kemudahan untuk melakukan kemitraan;
      c. membuat perjanjian kemitraan; dan
      d. membatalkan perjanjian bila salah satu pihak mengingkari.
    • Usaha Besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak untuk mengetahui kinerja kemitraan Usaha Kecil mitra binaannya. Sementara Usaha Kecil yang bermitra mempunyai hak untuk memperoleh pembinaan dan pengembangan dari Usaha Besar dan atau Usaha Menengah mitranya dalam satu aspek atau lebih tentang pemasaran, sumber daya manusia, permodalan, manajemen dan teknologi.
    • Usaha Besar dan atau Usaha Menengah yang melaksanakan kemitraan dengan Usaha Kecil /Mikrober kewajiban untuk melakukan pembinaan kepada mitra binaannya dalam satu atau lebih aspek :
      • a. Pemasaran, dengan :
        1) membantu akses pasar;
        2) memberikan bantuan informasi pasar;
        3) memberikan bantuan promosi;
        4) mengembangkan jaringan usaha;
        5) membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen;
        6) membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah kemasan.
      • b. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, dengan :
        1) pendidikan dan pelatihan;
        2) magang;
        3) studi banding;
        4) konsultasi.
      • c. Permodalan, dengan :
        1) pemberian informasi sumber-sumber kredit;
        2) tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai sumber lembaga penjaminan;
        3) mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan;
        4) informasi dan tata cara penyertaan modal;
        5) membantu akses permodalan.
      • d. Manajemen, dengan :
        1) bantuan penyusunan studi kelayakan;
        2) sistem dan prosedur organisasi dan manajemen;
        3) menyediakan tenaga konsultan dan advisor.
      • e. Teknologi, dengan :
        1) membantu perbaikan, inovasi dan alih teknologi;
        2) membantu pengadaan sarana dan prasarana produksi sebagai unit percontohan;
        3) membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas;
        4) membantu pengembangan disain dan rekayasa produk;
        5) membantu meningkatkan efisiensi pengadaan bahan baku.
    • Usaha kecil / mikro yang bermitra berkewajiban untuk
      1. meningkatkan kemampuan dalam hal manajemen dan kinerja usahanya secara berkelanjutan, sehingga lebih mampu melaksanakan kemitraan dengan Usaha Besar atau Usaha Menengah; dan
      2. memanfaatkan dengan sebaik-baiknya berbagai bentuk pembinaan dan bantuan yang diberikan oleh Usaha Besar dan atau Usaha Menengah.
    • Berikut ini digambarkan beberapa skema Kemitraan Pola Inti Plasma
      Contoh 1 : Kebun Kelapa Sawit
      Contoh 2 : Peternakan Ayam
    • gb 7
    • gb 8
  • B. Pola Bapak Angkat
    Pada dasarnya pola bapak angkat adalah refleksi kesediaan pihak yang mampu (besar) untuk membantu pihak lain yang kurang mampu (kecil) pihak yang memang memerlukan pembinaan. Oleh karena itu, pada hakikatnya pola pendekatan tersebut adalah cermin atau wujud rasa kepedulian pihak yang besar terhadap yang kecil. Pola Bapak angkat dalam pengembangan UMK umumnya banyak dilakukan BUMN dengan usaha mikro dan kecil.
  • Berikut ini dicontohkan skema pembinaan kepada UMK dengan pola Bapak Angkat.
  • gb 9
  • 3.1.4. Pemberdayaan BDSP (Business Development Services Provider)
  • A. Lembaga Jasa Pengembangan Usaha
  • Sampai saat ini pengertian Business Development Services(BDS) yang diterjemahkan sebagai “Jasa Pengembangan Usaha (JPU) begitu pula Business Development Services Provider (BDSP) masih bervariasi sehingga perlu diarahkan agar semua pihak dapat menerimanya dan menggunakannya. BDS adalah suatu kegiatan dalam bentuk jasa dalam berbagai bidang yang dilakukan oleh individu dan atau lembaga untuk tujuan pengembangan usaha, dalam hal ini UMKM. Sedangkan BDSP adalah suatu lembaga yang memberi/ menyediakan pelayanan jasa untuk pengembangan usaha UMKM dalam berbagai bidang antara lain teknis, sosial-ekonomi, keuangan, dll.
  • Selain pengertian yang dikemukakan di atas, Committee of Donor Agencies for Small Enterprise Development mendefinisikan BDS sebagai berikut “jasa non-finansial yang meningkatkan kinerja suatu perusahaan, akses ke pasar, dan kemampuannya untuk bersaing”. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation and Development(OECD) menyebutkan sebagai” jasa-jasa bisnis strategis yang meliputi perangkat lunak komputer dan jasa proses informasi, riset dan jasa pengembangan dan teknis, jasa marketing, jasa pengelolaan organisasi bisnis dan jasa pengembangan sumber daya manusia”. Sementara ini telah tercapai konsensus internasional bahwa jasa-jasa perdagangan, hiburan, akomodasi, transportasi dan keuangan dalam hubungannya dengan penyediaan modal, tidak akan dipertimbangkan sebagai BDS atau jasa bisnis strategis.
  • Kementerian Koperasi dan UKM mendefinisikan BDSP sebagai lembaga atau bagian dari lembaga yang memberikan layanan pengembangan bisnis dalam rangka meningkatkan kinerja UMKM. Lembaga tersebut berbadan hukum, bukan lembaga keuangan, serta dapat memperoleh fee dari jasa layanannya. Definisi BDSP dari Swisscontact, suatu lembaga yang aktif dalam pengembangan BDS di Indonesia, menyebutkan bahwa BDS merupakan bentuk jasa non keuangan yang disediakan oleh lembaga eksternal (Pemerintah atau Swasta) yang bertugas memecahkan masalah yang dihadapi UMKM serta memberikan jasa pengembangan bisnis yang diperlukan.
  • Dalam hubungan dengan pemberdayaan BDSP maka jasa yang diberikan oleh BDSP adalah konsultansi/pendampingan dalam hal manajemen/analisis keuangan agar terjadi kemitraan dengan bank atau terjadinya penyaluran dana bank kepada UMKM tsb disertai dengan pembinaannya.
    1. Perkembangan Lembaga Jasa Pengembang Usaha
      • Peningkatan jasa-jasa strategis dianggap mempunyai nilai khusus bagi peningkatan kinerja UMKM di kebanyakan negara berkembang.  Menurut data dan estimasi terakhir OECD, jasa usaha strategis di negara-negara OECD adalah sebagai berikut:
        1. merupakan salah satu dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh paling cepat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 10 % per tahun.
        2. mencapai total estimasi omzet sekitar US$ 1.5 triliun dalam tahun 1999, atau sekitar delapan kali PDB Indonesia.
        3. memperkerjakan jauh lebih banyak tenaga kerja akibat kegiatan usaha meningkat.
      • Banyak bukti-bukti lain yang menunjukan manfaat dan perkembangan penyebaran BDSP sebagai suatu lembaga atau perorangan pemberi jasa-jasa strategis.
    2. Jenis Lembaga Jasa Pengembangan Usaha
      1. Departemen Teknis – Konsultan/Pendamping Teknis
        • Departemen Pertanian – BPP PPL
        • Departemen Koperasi & UKM – BDS
        • BKKBN – PLKB
        • Departemen Perindag, Departemen Sosial – PSL
        • Departemen Dalam Negeri – KMT Propinsi dll.
      2. Swasta – Konsultan seperti yang tergabung dalam Inkindo, Iwapi, Kadin, Asosiasi BDS, Swiss Contact dan konsultan swasta lainnya.
      3. LPSM – Konsultan/Pendamping Sosial, seperti Bina Swadaya, LP3ES, Altrabaku dan lain-lain.
      4. Lembaga Penelitian – Konsultan/Pendamping seperti lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta.
  • B. Pembentukan BDSP
    • Konsultan/Pendamping merupakan anggota atau unsur BDSP yang memenuhi standar kualifikasi tertentu.
    • Konsultan/pendamping yang merupakan anggota atau unsur BDSP tersebut menyiapkan UMKM di bidang non keuangan seperti produksi dan teknologi, manajemen, pengembangan usaha dan pemasaran. Selama ini, fungsi konsultansi dan pendampingan telah dilakukan oleh beberapa instansi/lembaga seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Departemen Pertanian, Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di BKKBN, asosiasi UMKM seperti Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Perguruan Tinggi dan konsultan swasta baik yang tergabung dalam asosiasi konsultan (misalnya INKINDO) maupun asosiasi lainnya.
  • C. Konsep Pemberdayaan BDSP
  • Sebagaimana telah disebutkan, pengembangan dan pemberdayaan UMKM dilakukan oleh berbagai pihak baik dinas/instansi pemerintah, perbankan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun lembaga-lembaga internasional. Pemberdayaan UMKM dilakukan oleh lembaga atau individu-individu pendamping/konsultan yang dibentuk atau bekerja pada lembaga tersebut dalam bidang teknis, manajemen, keuangan dan sebagainya, sesuai dengan sektor dan bidang keahlian masing-masing.
  • Adanya pendamping atau konsultan tersebut sangat membantu UMKM dalam mengembangkan usahanya, akan tetapi untuk mengembangkan usaha lebih jauh UMKM seringkali menemui kendala untuk akses dengan lembaga keuangan khususnya perbankan.
  • Di lain pihak perbankan yang memiliki alokasi sumber dana belum dapat menjangkau lebih banyak UMKM karena keterbatasan informasi dan SDM yang dimiliki. Peranan pendamping/konsultan dalam menghubungkan UMKM dengan bank menjadi sangat strategis karena dapat menciptakan kesinambungan usaha UMKM dan dapat mengatasi keterbatasan perbankan dalam menjangkau UMKM. Konsultan/ pendamping UMKM yang mampu menghubungkan dengan bank dapat menjadi mitra bank
  • Sehubungan dengan peranan yang strategis tersebut, konsultan/pendamping UMKM perlu diperkuat dari aspek keuangan dan perbankan melalui pendidikan dan pelatihan yg terpadu, shg menjadi konsultan keuangan/pendamping UMKM yang profesional dan dapat menjadi mitra bank.
  • Pemberdayaan BDSP dimaksudkan untuk memberdayakan konsultan/ pendamping, baik swasta maupun yang dibentuk Pemerintah, yang selama ini terlibat dalam pengembangan UMKM. Pembentukan BDSP didasarkan pada visi untuk memperluas akses sektor UMKM kepada kredit perbankan, sedangkan misinya adalah memberdayakan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM agar mampu menyediakan jasa pengembangan bisnis dan berfungsi sebagai “jembatan penghubung” antara UMKM dan bank.
  • Pemberdayaan BDSP melibatkan banyak pihak yaitu Pemerintah, KPK, Bank Indonesia, perbankan dan swasta. Oleh karena itu perlu sebuah wadah atau forum yang dapat melaksanakan dan mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan BDSP tersebut, yaitu berupa Satuan Tugas.
  • BAHAN BACAAN
    1. Anggadiredja, Dedi dan Djajamihardja, Didi B. 1991. Ciri-ciri Kewiraswastaan. PPK/CCK/13-DA-DBD/V/91. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Jakarta.
    2. Arianto dan Sri Hartini. 2003. Fasilitas Pinjaman Modal Bagi UMKM. Bank dan Wirausaha. ISSN : 1693-2498 edisi 07.
    3. Budi Purwanto. 2003. Fasilitas Pinjaman Modal Bagi UMKM. Bank dan Wirausaha. ISSN : 1693-2498 edisi 07.
    4. Condington, Walter.1993. Environmental marketing, positive strategi for reaching the green consumer. Mcgraw-Hill.
    5. Djaelan, Helmy A. 2003. Pemberdayaan UMKM. PT. Financial Consultant Asia. Jakarta
    6. Gittinger, Price, J. (1986). Economic Analysis of Algiculture (Terjemahan : Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian). UI-Press, Johns Hopkins, Jakarta.
    7. Sumodiningrat, Gunawan. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Menuju Pembangunan Partisipatif (Disampaikan dalam Diklat Pembangunan Partisipatif Masyarakat). Jakarta
    8. Lessem, Ronnie. 1992. Intrausaha, Analisis Pribadi Pengusaha Sukses. Peterjemah : Liana Setiono. Seri Pustaka Eksekutif No.19. Jakarta.
    9. Pinchot III, Gifford.1985. Intrapreneuring. Harper & Row, Publishers, New York.
    10. Peraturan Bank Indonesia No. 5/18/PBI/2003. Tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam Rangka Pengmebangan Usaha Mikro dan Kecil.
    11. Saefuddin Sarief. 1995. Dukungan Pendanaan Menunjang Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri. Rangkuman Lokakarya. Fakultas Pertanian – Universitas Padjadjaran, Bandung.
    12. 1995 Panduan Penyusunan dan Model Studi Kelayakan Proyek-Proyek Agribisnis dan Agroindustri. Rangkuman Lokakarya. Fakultas Pertanian – Universitas Padjadjaran, Bandung.
    13. Biro Kredit – Bank Indonesia. Modul Pelatihan Pengembangan Hubungan Bank Dengan Kelompok Swadaya Masyarakat, edisi Desember 2003.
    14. Sumahamijaya, Suparman. 1974. Menggali, Menempa dan Mengembangkan Kepribadian Unggul Wiraswasta. Seri Kewiraswastaan No. 754. Lembaga Bina Wiraswasta. Jakarta.
    15. Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2003. Informasi Dasar Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Badan Perencanan Pembangunan Nasional, Jakarta
    16. ————————–, 2003. Informasi Dasar Pengarusutamaan Penanggulangan Kemiskinan Di Daerah. Badan Perencanan Pembangunan Nasional, Jakarta
    17. ————————–, 2003. Sistem Data Dan Penentuan Sasaran (Targeting) Dalam Penanggulangan Kemiskinan. Badan Perencanan Pembangunan Nasional. Jakarta
    18. Jasa Marga, 2002. Etika Bisnis. Program Pelatihan dan Supervisi Bagi Mitra Binaan PT. Jasa Marga (Persero). Berkerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Kertanegara. Jakarta
    19. Unit Bantuan Teknis Pemberdayaan KKMB, 2003. Petunjuk Pelaksanaan Pemberdayaan Konsultan Keuangan Mitra Bank. Bank Indonesia. Jakarta
    20. ————————–, 2003. Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1999 Tentang Sistem Data Dan Penentuan Sasaran (Targeting) Dalam Penanggulangan Kemiskinan. Badan Perencanan Pembangunan Nasional. Jakarta
  • TERIMAKASIH SEMOGA BERMANFAAT

Tinggalkan komentar