(1) Refleksi Peringatan 1 Suro

  • Mencari Rumput-01
  • 2. Kakek dan Ayam jago-001Refleksi Peringatan 1 Suro : Essensi bagi Masyarakat Pertanian Tempo Doloe, Sekarang dan Akan Datang
  • Pagi itu Minggu : 27 Nopember 2011 bertepatan dengan Tanggal 1 Suro untuk Penanggalan Jawa serta 1 Muharram 1433 H untuk Penanggalan Islam. Setelah semalam diajak Pak Lurah berkeliling Batas Kelurahan dan diteruskan dengan Melek’an di Pos Kampling RT, maka Pukul 06;30 WIB, usai bebersih diri, saya nongkrong di sebuah warung untuk sarapan pagi menu utama khas Kediri; Nasi Pecel. Nasi pecel pagi ini cukup komplit terdiri dari rebusan daun pepaya, kecambah, kacang panjang, kembang turi, daun kemangi, ketimun iris dadu, dan yang pasti sambal kacang. Bagi yang suka bisa dicampur dengan dressing lethok. Itu adalah tempe setengah busuk (Medem) yang diuleg dan dimasak sedemikian rupa menjadi semacam saus. Orang Kediri menyebutnya Sambel Tumpang karena cara menyajikannya ditumpangkan di atas sayur tersebut. Lauknya bisa Anda pilih sesuai selera. Ada empal, telor asin, serundeng daging, kering tempe, tempe goreng, ayam panggang, kerupuk, atau rempeyek. Minuman yang saya pesan adalah wedang Pinasgithel (Panas, legi/manis, dan kenthel/kental). Sambil menyantap Nasi Pecel tanpa Tumpang dan minum Kopi, maka pikiranku mencoba melamun tentang 1 Suro dan Bagaimana essensinya bagi masyarakat Agraris (Pertanian) saat ini dan yang akan datang.
  • Perayaan 1 Suro
  • Orang orang tradisional Jawa yang tinggal di Jawa maupun bagian lain Indonesia banyak yang merayakan 1 Suro yang dipandang sebagai hari sakral. Secara tradisi turun temurun, kebanyakan orang  mengharapkan “ ngalap berkah” mendapatkan berkah pada hari besar yang suci ini. Pada malam 1 Suro, biasanya orang melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam. 1 Suro adalah Tahun Baru menurut kalender Jawa. Berbeda dengan perayaan Tahun Baru Kalender Masehi yang setiap tanggal 1 Januari dirayakan dengan nuansa pesta, orang Jawa tradisional lebih menghayati nuansa spiritualnya. Pemahamannya adalah : Tanggal satu pada tahun baru Jawa diperingati sebagai saat dimulainya adanya kehidupan baru. Umat manusia dari lubuk hati terdalam manembah, menghormati kepada Yang Satu itu, Yang Tunggal, Yang Esa, yang mula-mula menciptakan seluruh alam raya ini dengan semua isinya, termasuk manusia, yaitu Gusti, Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu peringatan 1 Suro selalu berjalan dengan khusuk, orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, mengucap syukur kepada Gusti,Yang Membuat Hidup dan Menghidupi, yang telah memberi kesempatan kepada kita semua untuk lahir, hidup dan berkiprah didunia ini. Menyadari atas kesempatan teramat mulia yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka sudah selayaknya manusia selaku titah menjalankan kehidupan didunia yang waktunya terbatas ini, dengan berbuat yang terbaik, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya, tetapi untuk sesama mahluk Tuhan dengan antara lain melestarikan jagad ini, istilah kejawennya adalah Memayu Hayuning Bawono.  Tidak salah jagad harus dilestarikan, karena kalau jagad rusak, didunia ini tidak ada kehidupan. Pemahaman ini telah sejak jaman kabuyutan di Jawa , dimasa kuno makuno, telah dengan sadar disadari sepenuhnya oleh para pinisepuh kita. Perayaan 1 Suro bisa dilakukan dibanyak tempat dan dengan berbagai cara. Itu tergantung dari kemantapan batin yang menjalani dan bisa juga sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.
  • Pengetahuan dalam Kejawen 
  • Dalam masyarakat Tradisional Jawa yang bersumber dari Keraton Ngayogyakarta dan Solo merupakan masyarakat Agraris sehingga dalam tataran pengetahuan selalu mencerminkan Jiwa Agrarisnya. Terdapat 3 tingkatan dalam pengetahuan Kejawen :
    1. Tingkat pertama: disebut dengan Kanuragan, diambil dari kata “Raga” atau “Jasmani – The body”. Pada dasarnya tingkatan ini untuk para anak muda, tubuh mereka menjadi bisa kebal terhadap serangan benda tajam, seperti pisau, belati, bahkan sampai anti peluru. Berdasarkan dari hasil mengolah raga ini, mereka lebih mempercayainya sebagai tingkat kekuatan supernatural atau mistis.
    2. Tingkat kedua: disebut dengan Kasepuhan, diambil dari kata “Sepuh” atau “Tua – The old”, pengetahuan ini biasanya juga bisa dapat untuk memnyembuhkan penyakit, akan tetapi pada dasarnya diperuntukkan sebagai penghormatan hari lahir seseorang atau dikenal dengan “Slametan Wetonan”,; Slametan diambil dari kata “Slamet” ; dengan diadakannya acara ritual ini diharapkan datangnya keselamatan bagi seseorang, baik selamat dari mara bahaya atau sakit penyakit (well being)
    3. Tingkat ketiga: disebut dengan Ngelmu Sejati; (True knowledge) Kasunyatan (True Reality), pengetahuan ini bagi seseorang yang baik dan bijaksana dan berhasil mencapai tingkatan ini bisa melihat secara nyata kejadian yang terjadi dalam hidupnya atau kebenaran sejati. Dengan perkataan lain sudah tidak ada lagi rahasia dalam hidupnya; semuanya menjadi kenyataan.
  • Biasanya seseorang yang telah dapat sampai pada tingkat Kasunyatan kuranglah begitu memuaskan dirinya, yaitu sebuah pengetahuan tentang yang sering disebutkan oleh orang Jawa Jumbuhing Kawulo Lan Gusti; Harmonious relation between servant & Lord/God. Walaupun juga seseorang telah benar-benar faham tentang ngelmu Kasepuhan, kadangkala mereka juga sering khawatir dan sering juga tidak menemukan kedamaian sejati (inner peaceful feeling), mereka pergi dan mencari guru spiritual atau Guru untuk mendapatkan wawasan yang lebih dari sekedar memecahkan persoalan hidup. Untuk menguasai ilmu Kasunyatan( True knowledge; True Reality) membutuhkan waktu yang sangat panjang sekali, karena hal ini berkaitan dengan latihan kesetiaan atau untuk menjadi setia, dan latihan menggunakan getaran kekuatan batin yang bersih. Hanya seseorang yang benar-benar telah matang usia, jujur, bijaksanalah yang dapat mencapai tingkatan ini, dengan demikian juga itupun harus melalu proses “perijinan” dari yang Maha tinggi.
  • Kebatinan
    • Kebatinan ; Kebatosan, adalah diambil dari bahasa Jawa; Batin (innermost-self), adalah laku yang secara metafisika mencari kedamaian dan keharmonisan didalam hatinya yang paling dalam, hubungannya dengan alam semesta dan hubungannya dengan Tuhannya. Pandangan kepercayaan orang Jawa tentang kombinasi okultisme, metafisika, mistik, dan doktrin luar lainnya cenderung memberikan contoh perpaduan pada orang diri Jawa.
    • Idealisme orang Jawa mengkobinasikan kebijaksanaan seseorang dengan  Wisdom (Wicaksana), Psyche (Waskita) danÞwaskita dan sempurna.  Perfection (Sempurna). Pengikutnya haruslah bisa mengontrol dirinya atau hawa nafsunya, menjauhkan diri dari hingar bingar dan kesenagan duniawi, sehingga dia bisa mendapatkan keharmonisan hidup berupa pepadhang/pencerahan dan keterpaduan jiwanya dengan alam semesta. Bisa dikatakan secara umum, bahwa pengikut Kebatinan mempercayai keberadaan kesadaran yang sangat luar biasa didalam dunia kosmos yang berupa perhatian umat manusia dimasa yang akan datang, yang berupa kontrol diri dan petunjuk jalan hubungan dan tujuan kehidupan manusia. Untuk mengetahui keadaan hanya bisa dilakukan dengan cara meditasi.
    • Terdapat beberapa teknik meditasi atau dikenal dengan Tapa: Tapa Kalong  Kalong dalam bahasa Jawa adalahÞmelakukan laku tapa seperti Kalong  nama hewan pengerat pemakan buah-buahan di malam hari, pada siang hari dia tidur dengan kepalanya dibawah dan kakinya menggantung didahan pohon, Tapa Geni atau laku tapa dengan cara tidak terkena sinar apapun. Tapa Senen Kemis, Tapa Mutih adalah laku tapa hanya makan nasi putih atau tidak memakai gula dan garam, dan Tapa Ngebleng atau tapa didalam ruangan gelap selama beberapa hari, Tapa Nguler atau sering disebut dengan vegetarian karena hanya makan buah-buahan dan sayuran.
    • Pada saat mereka puasa, dilakukan beberapa hari lamanya atau sampai tujuannya tercapai, ada juga yang melakukan selama 40 hari penuh. Puasa bagi orang Jawa merupakan latihan umum untuk melatih kedisiplinan diri; atau melatih jasmani dan rokhaninya dari keinginan secara emosianal. Mereka melakukannya menurut keyakinan mereka sendiri untuk mencari pemenuhan kebutuhan spiritual dan emosional. Pelaksanaan puasa ini terlepas dari ritual puasa agama masing-masing individu dan biasanya dilakukan dengan sangat rahasia atau atas perintah sang guru.
  • Essensi Bagi Masyarakat Tempo Doeloe yg Masih Teguh Memegang Adat Jawa
    1. Lebih banyak Tirakatan
      • Pada dasarnya, orang tradisional Jawa senang kepada kebatinan, senang melakukan tirakat seperti “ngurang-ngurangi”- membatasi akan hal-hal yang bersifat kebutuhan atau kesenangan duniawi, supaya mendapatkan ketenangan hidup dan pencerahan spiritual. Sebelum bersembahyang  akan membersihkan raga dan jiwa dengan jalan mandi suci dan berpuasa sekuatnya dan selama itu berusaha supaya berpikiran baik, menghindari perkataan dan perbuatan kotor. Biasanya juga dibarengi dengan mengurangi tidur dengan jalan : tidur hanya sekali sehari yaitu sesudah jam 12.00 malam dan bangun sebelum matahari terbit. Konsumsi makanannya secukupnya saja dengan lebih banyak sayur dan buah, sedikit nasi; daging dihindari atau sedikit saja.Minum air putih. Melakukan pekerjaan atau mencari nafkah yang rajin dan dengan jalan yang baik, senang menolong sesama, menjaga kebersihan diri, rumah, lingkungan dan turut melestarikan alam. Dalam kehidupan sehari-hari selalu menjaga keseimbangan keperluan duniawi dan spiritual. Selama bulan Suro, laku tirakat akan lebih kencang artinya lebih banyak melakukan tirakat. Ini bulan suci, waktu yang sangat baik untuk membersihkan diri lahir batin dan mendekatkan diri kepada Gusti ,Sang Pencipta. Oleh karena itu, pada bulan Suro orang Jawa tradisional tidak melakukan pertemuan atau pesta yang bersifat keduniawian, tidak melakukan upacara perkawinan, membuat rumah baru dsb. Bulan Suro dipandang bulan yang baik untuk menobatkan Ratu atau Raja. Bulan Suro juga waktu yang baik untuk mengadakan jamasan– pencucian pusaka seperti keris, tombak, gamelan dsb. Di beberapa desa , upacara Bersih Desa atau Ruwat Bumi diadakan pada bulan Suro.
    2. Memperkenalkan Makanan Sederhana yaitu “Bubur Suran”
      • Ada tradisi menarik yang dilakukan keluarga Jawa untuk menyambut bulan Suro. Pada malam 1 Suro, santap malam keluarga adalah menu special tetapi sederhana, yaitu Bubur Suran. Bubur Suran baku yang disajikan terdiri dari : Bubur Putih; Kedelai Hitam digoreng; Telur Ayam Kampung digoreng dadar di-iris-iris; Serundeng Kalapa; Rujak Degan – minuman segar kelapa muda dengan gula Jawa; Janur Kuning sehelai dipasang diatas pintu masuk rumah.
      • Maksud dari menyantap bersama Bubur Suran itu adalah :
        1. Makan bersama menunjukkan kerukunan berkeluarga, semua senang bahagia , bersyukur bisa kumpul menikmati hidangan enak meskipun sederhana. Itu semua adalah berkah Gusti, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semua hidangan adalah pemberian Ibu Pertiwi, untuk itu supaya selama hidup dibumi selalu dapat makan, kita semua wajib menjaga, memelihara bumi tempat kita tinggal.
        2. Bubur Putih melambangkan kesucian jalan hidup yang kita lakukan.
        3. Kedelai Hitam yang digoreng . Ini menunjukkan sikap hidup dan watak yang mituhu– selalu setia untuk berbuat baik dan benar dengan cara mematuhi ajaran pinisepuh supaya anak cucu selalu manembah dan berada dijalan yang diberkahi dan diperkenankan Tuhan, selalu berbudi pekerti dan memegang prinsip-prinsip tata krama dan tata susila dalam pergaulan
        4. Telur Ayam Kampung digoreng dadar dan di-iris-iris. Merupakan simbol dari hidup yang berkesinambungan dan sumrambah– menyebar dimana-mana. Petunjuk baku dalam manusia menjalani hidup adalah supaya umat manusia yang sebenarnya serumpun dan bersaudara, karena berasal dari Asal Muasal yang satu dan sama, supaya adil dalam menikmati produk-produk yang diberikan oleh  alam ini
        5. Serundeng Kelapa merupakan petunjuk jelas supaya kita semua mengikuti filosofi kelapa . Pohon kelapa tumbuh dimana-mana dengan mudah dan subur dan mampu menyesuaikan dengan keadaan setempat, demikian juga manusia. Selain itu semua bagian dari pohon kelapa amat berguna baik buahnya, serabutnya, batangnya, lidinya maupun daunnya. Ini contoh yang positif bagi manusia. Hendaknya segala perbuatan kita juga bermanfaat bagi sesama. Kita mampu berkarya, mampu menolong, memberi kepada sesama. Kita bisa memberikan hal-hal yang baik, jangan kita membuat sakit hati orang lain, karena seperti dikatakan oleh para pinisepuh bijak : Menyakiti orang lain artinya juga menyakiti diri sendiri. Cobalah kita renungkan, apa gunanya membuat sakit hati orang lain?
        6. Rujak Degan merupakan simbul manusia wajib menjalani hidup dengan antusias, bekerja dengan baik ,benar ,giat. Itu artinya kita berterimakasih kepada  Tuhan, yang memberi hidup dan menghidupi.Kita ajak semua saudara kita untuk tidak loyo menjalani kehidupan ini. Mari kita hidup rukun dalam suasana regeng – semarak, menyenangkan.
        7. Janur Kuning  dipasang diatas pintu rumah. Ini perlambang hidup kita yang sejati yang selalu dekat dengan Gusti, Tuhan.Di-ayomi, dilindungi Beliau siang dan malam, sepanjang waktu.
      • Oleh karena itu kita mesti menjalani hidup ini dengan mantap, selalu dalam koridor yang ditetapkan oleh Nya. Harus selalu berbuat baik, benar dan bijak dan semua itu sesuai dengan sikap kedewasaan kita masing-masing, harus dipahami dengan sadar sesadar-sadarnya.Sikap seperti ini dipunyai oleh saudara-saudara kita yang telah mendapatkan pencerahan jiwa. Janur adalah Sejatinya Nur atau istilah kebatinan umum adalah Nur Sejati artinya Cahaya yang sejati. Cahaya yang sejati itulah hidup yang sebenarnya yang berada bersama dalam badan fisik dan eteris kita. Ada yang menyebut sebagai Suksma Sejati atau Pribadi Sejati, Hidup sejati. Istilah universalnya adalah Spirit. Si Hidup sejati atau suksma atau spirit ini selalu hidup dan keberadaannya bersama atau manunggalnya dengan raga fisik dan eteris ( kasar dan halus) manusia, itulah yang membuat manusia hidup didunia ini. Dan itu terjadi atas perkenan Sang Suksma  Agung, Gusti, Tuhan.  Yang berhubungan dengan  Sang Suksma Agung, Gusti bukanlah badan kasar dan halus manusia melainkan Pribadi Sejati, istilah universalnya Higher Self.Manusia yang dewasa kesadarannya berusaha untuk mampu ketemu dengan Pribadi Sejati/Higher Self untuk mengetahui kehidupan sejati. Kuning, warnanya adalah kuning bersih, kuning muda . Ini simbolik dari hidup yang cerah karena telah sadar dan menghayati hidup yang sejati. Hidup ini bukanlah hidup sendiri, untuk kepentingannya sendiri, maunya menang dan enak sendiri atau paling-paling buat keluarga terdekatnya dan konco-konconya. Hidup ini untuk seluruh manusia bahkan seluruh mahluk dijagad raya ini.Untuk itu, kita mesti menjalani dan menikmati hidup didunia ini untuk kebersamaan dengan cara yang baik, benar dan adil. Seorang spiritualis pada waktu melakukan meditasi, pada puncak keheningan dalam kesadaran penuh, dia melihat baik dengan mata terbuka maupun tertutup dan merasakan hatinya begitu tentram, nafasnya lembut, dia berada ditengah-tengah cahaya kuning bersih lembut, artinya kepasrahannya kepada Tuhan telah diberi anugerah, bahwa hidupnya didunia diberkahi oleh Nya. Itulah sedikit penjelasan mengenai apa yang tersirat dalam filosofi  Bubur Suran . Memang nenek moyang orang Jawa itu sukanya memberikan sanepo– semacam petunjuk nasihat yang harus dibuka apa arti sebenarnya.
    3. Memperkenalkan moral tingkah laku, etika dan tridisi orang Jawa.
      1. Budi Pekerti; Good Conduct Of Life / Good Morality/Virtue
        • Hal ini adalah sangat penting sebagai tuntunan moral orang Jawa tradisional. Seseorang yang mengenal dan mempunyai Budi Pekerti, dalam hidupnya pastilah selalu selamat; Slamet; seperti yang diharapkan dalam hidupnya jauh dari banyak perkara. Ucapan berkah dari orang tua dan berkah dari orang yang lebih tua pasti dan selalu terdapat kata “Slamet”, Selamat atau “safe life”. Budi pekerti adalah induk dari dari segala jenis etika, etiket, tingkah laku yang baik, serta tuntunan hidup baik dan benar, dll.. Pada awalnya dilakukan atau diajarkan dari orang tua mereka dan keleuarga mereka di rumah kemudian oleh masyarakat secara langsung dan tidak langsung. Cerita dalam WAYANG (shadow puppet performance) adalah salah satu sumber ilmu Budi Pekerti untuk kalangan muda. Akan tetapi banyak juga cerita wayang yang menceritakan tentang hidup sejati atau uripsejati (true life) yang sering dikenal dengan Manunggaling Kawula Lan Gusti: manunggal = unity) The Unity of Servant & Lord. Dengan cerita wayang itulah orang Jawa seringkali bisa melihat dirinya sendiri, sehingga itu wayang masih populer sampai pada saat ini.
      2. Tata Krama Atau Etika ( To Be Polite Or Etiquette).
        • Tata Krama (To be polite or etiquette) adalah menyangkut masalah tingkah laku jasmani seperti bagaimana cara duduk, cara makan, cara berbicara, dll. Dengan orang yang lebig tua dan orang yang lebih tinggi posisinya mereka menggunakan bahasa Jawa yang disebut Krama Inggil (refined language). Dengan temannya mereka seringkali menggunakan bahasa Jawa Ngoko (low level). Hampir semua kata-kata yang digunakan dalam kedua jenis tingkatan bahasa, baik KRAMA INGGIL & NGOKO sangatlah berbeda. Bahasa jawa sangatlah istimewa dan unik, dan sangat tepat untuk membuktikan adanya etika atau Tata Krama (Etiquette)
      3. Menghormati (To Be Respect).
        • Harus selalu menghormati orang tua, orang yang lebih tua, guru, leluhur, dll, tidak selalu untuk menutup kemungkinan menghormati orang yang lebih muda, mereka juga diperlakukan dengan penuh penghormatan juga, seta bagi orang-orang yang lebih tinggi atau lebih rendah posisinya. Hal ini sering disebut juga Tata Susila (Ethics) yang didalamnya orang Jawa haruslah:
        • Kejujuran; tidak curang, siap untuk membantu orang lain. Selalu siap untuk menjauhi Ma-Lima (Five bad conducts in Javanese language starting with ma-lima); Main – gambling; Madon – commit adultery; Mabuk – excessive alcoholic drinking; Madat – include using opium, smoking, drugs, narcotics, etc; Maling – stealing. Kesemuanya itu yang secara kebutuhan ragawi bisa merusak dan merugikan, oleh karen itu harus selalu dihindarkan.
        • Selalu melakukan kelakuan yang baik dan benar untuk menghindari kesalahan dan melindungi reputasi yang baik dan benar, oleh karena itu orang Jawa selalu merasa “Isin atau Malu” (to feel ashamed). Rasa “ISIN” mengacu kepada tingkah laku yang salah, yang bagi orang Jawa lebih ditegaskan lagi sebagai kehilangan kehormatan dirinya.
        • Rukun; (To maintain harmony), diartikan sebagai bebas dari konflik dalam keluarga, tetangga, penduduk desa, bangsa dan dunia. Keharmonisan kehidupan diantara mereka adalah sangatlah penting. Faktanya apabila terdapat kerusakan dalam diri manusia itu berarti mereka mengacu kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Hanya sebagian kecil kerusakan diri manusia disebabkan oleh gangguan binatang atau roh. Semboyan yang sangat terkenal dikalangan orang Jawa adalah Rukun Agawe Santosa (Peaceful and harmony makes us strong).
        • Sabar (To be patient) , mampu mengendalikan dirinya.
        • Nrima (To be acceptful) mampu menerima nasib hidupnya didunia ini/tidak mencemburui segala sesuatu yang dimiliki orang lain (kesuksesan,keberhasilan,kekayaan, dll.)
        • Sifat Aku ( Don’t be selfish, to act only for his own interest.) melakukan segala sesuatu untuk ditrinya sendiri.
        • Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe, dalam artian yang lebih luas sebagai hakekat hidup yang lepas dari sifat ke-AKUan (free of self interest) dan siap sedia untuk bekerja keras untuk komunitas sosial dan kesejahteraan seluruh isi dunia, tidak mengharapkan sesuatu apapun; pamrih imbalan jasa. (RAME >< SEPI = tidak mengharapkan sesuatu sebagai balas jasa; expecting nothing for the good deed, GAWE = siap bekerja dengan keras. ready to work hard seriously or to organize, etc.)
      4. Slametan; Ritual Ceremonial
        • Hal ini sangatlah penting dari setiap tradisi ritual. Doa-doa dilakukan oleh tetangga atau saudara dekat dan beberapa kerabat dekat lainnya dalam bentuk upacara sesaji, yang biasanya terdapat TUMPENG (offering of rice cone) dan beberapa bentuk hidangan lainnya, beberapa macam buah-buahan, dedaunan, bunga, dll. SLAMETAN berasal dari kata “SLAMET atau Safe” yang sangat difokuskan untuk jujuan keselamatan, ritual penghormatan hari kelahiran, dsb.
      5. Gotong Royong; Mutual Cooperation; Assistance
        • Adalah bentuk kerjasama yang solid berdasarkan kesadaran dan atas dasar petimbangan yang matang untuk menolong sesama, terutama dilingkungan tetangga atau sesama penduduk desa. Diantaranya adalah acara bersih desa, membangun jalan desa, menjaga keamanan sesama penduduk desa atau tetangga, membantu tetangga yang sedang dalam kesusahan seperti meninggalnya seseorang, kebakaran, dsb.
      6. Memayu Hayuning Bawono.
  • Essensi Bagi Masyarakat Sekarang.
    • Secara ringkas bahwa dalam sendi kehidupan masyarakat sekarang tidak terjadi sinkronisasi ranah kognitif (berpikir), ranah psikomotorik (berbuat) dan ranah afektif (bersikap dan bernilai). Segala hal masih didasarkan hanya pada ranah kognitif saja tanpa memadukan ranah yang lain. Banyak orang pintar tetapi lemah dalam berbuat dan bersikap/bernilai.
    • Dalam dunia pertanian saat ini yang masih menggantungkan Beras sebagai makanan pokok membuat kita selalu menjadi pengimport beras tertinggi. Kepentingan kemandirian pangan, diversifikasi konsumsi pangan juga dapat mengurangi ketergantungan konsumen pada satu jenis bahan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan dimaksudkan sebagai konsumsi berbagai jenis pangan yang dapat memenuhi kecukupan gizi. Konsumsi pangan dikatakan beragam bila di dalamnya terdapat bahan pangan sumber tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur secara seimbang. Sebenarnya sejak jaman dulu sudah diberikan contoh tentang keanekaragaman bahan pangan melalui Tapa Nguler atau sering disebut dengan vegetarian karena hanya makan buah-buahan dan sayuran.
  • Essensi Bagi Masyarakat Yang Akan Datang.
    • Sendi kehidupan masyarakat yang akan datang, dimana harus dimulai saat sekarang harus memadukan antara ranah berpikir, berbuat dan bersikap/bernilai. Besarnya potensi alam, kultur masyarakat agraris, dan kearifan masyarakat lokal sangat memungkinkan pelaksanaan reinvestasi surplus di pedesaan tersebut. Peranan dan eksistensi masyarakat lokal, bagaimanapun, tidak mungkin diabaikan. Masyarakat lokal di pedesaan dengan kulturnya yang mendarah daging telah melahirkan kearifan lokalnya masing-masing. Kearifan lokal ini telah dibangun selama berabad-abad seiring dengan perjalanan hidup sehingga merupakan intisari dari kompilasi pengalaman hidup yang panjang dan diwariskan turun temurun. Karena merupakan intisari dari kompilasi pengalaman hidup lokal selama berabad-abad, maka untuk setiap daerah kearifan lokal ini dapat memiliki rupa dan praktek yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dimaklumi, mengingat perbedaan pengalaman hidup dan batas-batas kemampuan memahami fenomena kehidupan pada masing-masing kelompok masyarakat lokal. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan, kearifan lokal tersebut diterapkan secara tertib dan ditaati dengan penuh keyakinan. Karena itu, kearifan lokal dalam kehidupan pada banyak masyarakat lokal telah melekat erat dalam tradisi-tradisi budaya setempat bahkan telah menjadi semacam way of life dan karenanya berlaku sebagai norma-norma sosial budaya.
    • Di daerah pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar hidup dari pertanian, maka kearifan lokal tersebut juga terinternalisasi secara sadar dalam tata cara bertani. Kehidupan sehari-hari masyarakat petani pun tidak lepas dari kearifan lokal pertanian tersebut. Dapat dikatakan bahwa tata cara bertani yang berlandaskan pada kearifan lokal tersebut merupakan bentuk-bentuk local genius.  Misalnya, pada masyarakat petani tradisional di beberapa wilayah Pulau Jawa dan di Pulau Bali, masih sangat mempercayai pengaruh pemilihan hari-hari tertentu sebagai hari-hari yang paling baik untuk melakukan penyemaian benih, mengolah lahan sawah, pindah tanam, dan sebagainya. Di Bali, masyarakat petani juga mengenal tata kelola pengairan sawah secara tradisional yang disebut dengan Subak. Lumbung-lumbung desa yang hingga awal 1980-an masih banyak terdapat di setiap pedesaan di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi merupakan bentuk lain dari kearifan lokal untuk menjaga ketahanan pangan tersebut.
    • Contoh kearifan lokal tersebut secara ilmiah memang telah dapat dibuktikan kebenarannya. Perbedaan pemilihan hari untuk menyemai benih ternyata secara ilmiah terbukti dapat memberikan hasil yang berbeda pula. Pola pengairan tradisional Subak juga telah diakui dan teruji secara ilmiah oleh masyarakat dunia sebagai tata kelola pengairan yang sahih. Lumbung-lumbung desa yang selalu terisi penuh juga terbukti mampu menyelamatkan masyarakat lokal dari bencana kelaparan.  Local genius ini dalam prakteknya, sering kali tidak dapat diterima oleh masyarakat dengan budaya modern, bahkan oleh masyarakat pedesaan sendiri yang telah terimbas oleh modernisasi gaya hidup dan pengetahuan pertanian. Memang ada local genius sebagai bentuk dari kearifan lokal yang sering kali tidak dapat dipahami secara logika. Ada pula praktek-praktek pertanian yang telah dijalankan selama berpuluh bahkan beratus tahun ternyata secara ilmiah justru tidak terbukti kesahihannya. Meskipun terdapat kearifan lokal  yang tidak lagi dapat diterima dan diterapkan, bukan berarti peranan masyarakat lokal dengan kearifan lokalnya dapat dan boleh direduksi atau diabaikan begitu saja. Justru kearifan lokal dapat menjadi faktor pendorong dinamisasi aktivitas pertanian di pedesaan.
    • Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan, kearifan lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Sebab, seperti telah dijelaskan, kearifan lokal merupakan internalisasi dari pengalaman hidup yang panjang dan menjadi bagian dari way of life masyarakat lokal dengan norma-norma sosialnya. Dengan demikian kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi jaring penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.  Hal tersebut menjadi sangat penting dalam konteks perwujudan ketahanan pangan nasional. Mewujudkan ketahanaan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas pangan bukan berarti harus mengabaikan norma-norma sosial budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Ketahanan pangan nasional akan menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan sosial budaya masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.
    • Kearifan lokal ini menjadi benteng yang semakin penting dari hari ke hari sejalan dengan peningkatan peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan. Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan memang sulit untuk dihindari, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong. Sementara peran pemerintah lebih terfokus pada regulasi dan penyediaan infrastruktur pertanian. Meski demikian, peranan dunia usaha tetap harus sejalan dengan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan masyarakat pedesaan selama ini.  Upaya mendorong kalangan swasta untuk turut mewujudkan peningkatan produktivitas pangan perlu mendapatkan perhatian khusus. Masih sangat sedikit pihak swasta yang berminat melakukan investasi di sektor ini. Antara lain karena sektor ini memiliki sifat alamiah yaitu nilai tambahnya rendah, sedemian rupa sehingga lebih rendah dibandingkan nilai tambah di sektor-sektor lain. Sektor pertanian juga membutuhkan investasi dan modal kerja yang besar. Apalagi  faktor risiko yang melekat pada sektor ini juga cukup besar, mengingat sektor pertanian langsung berhadapan dengan alam berikut iklim yang sulit dikendalikan dan diantisipasi.  Untuk mencapai skala produksi yang ekonomis sehingga dapat tercapai nilai keuntungan yang layak, investasi di sektor pertanian harus dilakukan dalam skala yang besar dan luas. Hal ini bila tidak dilakukan dengan hati-hati justru dapat menimbulkan kerugian sosial budaya serta kerusakan lingkungan yang parah. Pembukaan lahan-lahan pertanian baru yang luas dapat merusak daya dukung dan kelestarian alam dan mengabaikan eksistensi masyarakat lokal. Melibatkan masyarakat lokal dengan menghargai kearifan lokal dapat diharapkan mencegah terjadinya perusakan lingkungan, sehingga peningkatan produktivitas pangan dapat berjalan secara berkesinambungan.
  • Penutup
    • Dengan Essensi Peringatan 1 Suro, maka kita dituntut untuk membaca alam dan sekitarnya demi proses kehidupan yang harmonis, selaras dan serasi sehingga tercipta Budaya yang Arif dan Bijaksana Menuju Masyarakat Sejahtera, Adil dan Merata.

Tinggalkan komentar